Kali ini post nya berbeda dari biasanya gaiiis~ untuk yang tidak membaca update ku akan akan mulai melakukan book review. Jadi... langsung saja ini book review pertamaku!
Aku akan me review buku yang berjudulkan "The Witches" yang ditulis Roald Dahl (salah satu author favoritku btw). Aku memilih buku ini karena membuatku ketakutan semasa kecil. Roald Dahl yang biasanya menulis buku yang sangat ceria
suddenly took a turn on the scarier side.
Dari sisi penulisan buku ini mirip dengan buku Roald Dahl yang lain, hanya...
mood ceritanya sangat berbeda. Contoh sedikit, buku lain Roald Dahl,
charlie and the chocolate factory bercerita tentang sebuah anak yang dapat tiket spesial untuk mengunjungi perusahaan coklat. Jadi sebagai anak yang terbiasa membaca buku-buku Roald Dahl yang berbahagia, buku ini agak membuatku trauma- dan tentunya sangat meninggalkan kesan.
Oke enough rambling about me, kita masuk ke ceritanya, buku ini bercerita tentang, seorang anak yang ... tidak diketahui namanya (biasanya memang begini) dan pengalamannya dengan... Penyihir. Ah iya, "penyihir" disini bukan seperti penyihir yang biasa kalian dengar, naik sapu, bikin ramuan, dsb. Ini penyihir sungguhan. penyihir yang botak, tidak punya jari kaki, dan sangat membenci anak-anak.
Cerita ini bermula dengan sang anak diceritakan tentang penyihir oleh neneknya, dan kasus anak-anak hilang yang disebabkan oleh penyihir. Beberapa halaman ini langsung set the mood untuk bukunya, dari anak yang jadi batu hingga anak yang masuk ke lukisan, semuanya sangat aneh dan menyeramkan.
Dalam perjalanan pulang dari rumah neneknya... sang anak terjebak dalam sebuah kecelakaan mobil dan kedua orangtuanya meninggal, sekarang dia hanya tinggal bersama neneknya di Inggris. Hidup di Inggris cukup tenang, hingga mereka bertemu penyihir. Atau lebih tepatnya, sang anak bertemu penyihir ketika dia sedang sendirian, dia sedang duduk-duduk di rumah pohon, just chillin ketika tiba-tiba ada yang memanggilnya dari bawah. Dan surprise surprise orang itu memakai sarung tangan. Ah, aku lupa bilang penyihir itu tidak mempunyai kuku seperti manusia biasa, mereka memiliki cakar dan untuk menutupi cakar itu mereka menggunakan sarung tangan. Sang anak membeku, dia ketakutan dan tidak tahu mau melakukan apa, apakah dia panggil nenek? Apakah dia lari? Pada akhirnya sang anak hanya duduk ketakutan di rumah pohon.
Apa yang terjadi pada sang anak? Aku akan meng-quote langsung dari bukunya
"pada pertemuan pertama aku berhasi pergi dengan selamat, tapi pada pertemuan kedua aku tidak seberuntung itu"
Kapankah pertemuan kedua itu? Dan apa yang terjadi pada sang anak? Akan kuceritakan sekarang.
Pertemuan kedua bermula ketika sang anak dan neneknya pergi ke hotel untuk liburan musim panas, dan sang anak membawa tikus-tikusnya. Sayangnya hotelnya tidak mengizinkan hewan peliharaan, jadi dia menyembunyikan mereka dan bermain dengan mereka di sisi backstage sebuah auditorium kosong. Tetapi, auditoriumnya tidak kosong, and long story shortdia sekarang terjebak di sebuah auditorium dengan anggota-anggota PPKTAA (Perkumpulan Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak-Anak). Ah, baguslah kalau terperangkap paling tidak sama wanita-wanita yang baik... tetapi setelah menunggu sebentar sang anak melihat beberapa kejanggalan. Semua orang disana wanita (penyihir hanya wanita) dan semuanya memakai sarung tangan. Sang anak mulai was-was, dia berpikir... kayaknya ini agak terlalu baik, dan sayangnya... dia benar.
Pintunya dikunci dengan rantai, rantai yang besar agar tidak ada seorangpun yang bisa masuk (atau keluar). Dan sang pembawa acara naik ke podium, dia adalah wanita yang sangat cantik memakai sepatu berhak tajam dan.... sarung tangan. Dan semua wanita (penyihir) disana memandanginya dengan terkagum-kagum dan tiba-tiba, dia melepas topengnya. Muka aslinya terlihat, lebih mirip monster daripada manusia! Wajahnya hampir meleleh, seperti orang gak tidur dua bulan. Sang anak bergidik ketakutan di area backstage, ternyata ini toh sang ratu penyihir! Pemimpin segala penyihir, penyihir yang paling kuat dan sangat ditakuti para penyihir lain. Lalu ia berbicara, suaranya seperti besi beradu "kalian boleh melepasss sepatu kalian!" terdengar desah lega dari para penyihir "kalian boleh melepas vig kalian!" Cara bicaranya agak aneh, dia sepertinya tidak bisa mengucapkan huruf w dan kalau mengatakan s ditahan seperti ular mendesis.
Sang ratu penyihir memulai pidatonya, dia terdengar sangat sangat marah.
"aku melihat ratusssan, aku melihan ribuan anak kecil yang menjijikkan sedang bermain di passir! Kenapa kalian belum menyingkirkan mereka?!"
"sssatu anak ssseminggu tidak cukup untukku!" "Aku menuntut hasil maksssimal! Jadi ini perintahku! Kuperintahkan agar semua anak di negeri ini disssapu bersssih diganyang disssikat dan dihabisssi sssebelum aku kembali kemari, Jelasss?!"
Hadirin terksesiap, terdiam tidak tahu harus bilang atau melakukan apa, ketika seorang penyihir bergumam sendiri "semua anak? kita tidak mungkin menghabisi mereka semua" dan ratu penyihir mendengarnya.
"Sssiapa yang bicara?" "SSSIAPA YANG BERANI MEMBANTAHKU? KAU YA?"
sang ratu penyihir menunjuk ke penyihir yang bergumam tadi, sang penyihir langsung ketakutan, "t-tidak kok ratu aku tidak mungk-" poof dia menghilang, terbakar menjadi abu. Sang ratu penyihir melanjutkan pidatonya tentang bagaimana dia membenci anak-anak. Lalu dia mengatakan bahwa ia berhasil membuat ramuan baru, namanya "Ramuan 86 pembuat tikus yang tertunda" dan menjelaskan cara membuatnya. Apa yang dilakukannya, yah kalau namanya belum cukup jelas, ramuannya membuat anak-anak menjadi tikus, yap tikus dan efeknya tertunda beberapa jam.
Lalu, sang penyihir mengundang seorang anak, Bruno Jenkins namanya, sang ratu penyihir memberinya Ramuan pembuat tikusnya hari sebelumnya dan mengundangnya datang dan menjanjikannya permen. Bruno masuk ke ruangan, (tentunya semua penyihir sudah pakai sarung tangan topi dan sepatu lagi) dan mengatakan "permanku mana?" Dan sang ratu mengatakan "tunggu sebentar" dalam suara yang, anehnya normal lagi. Lalu dia menghitung "10 9 8 7 6 5" dst dengan sangat bersemangat. Bruno sempat curiga tapi dia berpikir "meh, aku dapat permen", ketika sampai "nol!" Tiba-tiba Bruno mengecil, tumbuh bulu, dan tumbuh ekor. "Apa yang terjadi kepadaku?" "Apakah aku tetap dapat permen?" Dan setelah beberapa menit setelah perubahannya dimulai, Bruno sudah berubah 100% menjadi tikus besar berwarna coklat. Dan para penyihir tertawa seperti orang gila.
Ketika para penyihir sedang mencoba untuk mengjinjak Bruno agar dia mati (kejam iya) tiba-tiba salah satu dari mereka bilang "Aku mencium tahi anjing!" Sang anak, yang daritadi melihat dari area backstage, langsung bergidik, karena bagi penyihir... bau anak-anak sama seperti bau tahi anjing. "Apakah mereka mencium bauku, aku sudah beberapa minggu tidak mandi masa mereka mecium bauku", penjelasan sedikit, yang dicium oleh penyihir adalah bau anaknya bukan kotorannya jadi, semakin tubuhmu tertutup kotoran semakin baumu tertutupi (eh tapi ini untuk penyihir ya emakmu gabakal suka).
Tapi pada akhirnya sang anak ditemukan seorang penyihir melihatnya dan mengatakan "itu dia, dibalik papan pemisah ruangan!". Sang anak berlali menuju pintu, para penyihir bahkan tidak moncoba mengejarnya karena tahu dia tidak bisa keluar, mereka berjalan kepadanya, menangkapnya dan meminumkannya ramuan. Sebelum sang anak sadar betul apa yang terjadi padanya dia sudah berubah menjadi tikus.
Tapi, untungnya dia berhasil kabur dari cengkraman penyihir-penyihir yang ingin membunuhnya (nginjek tikus pake hak tinggi susah) dan kabur melewati lubang kecil di tembok. Di dalam tembok dia bertemu Bruno, yang tampaknya tidak sadar dia sudah menjadi tikus dan sedang mengunyah remah roti dengan bahagia. Setelah... pembicaraan yang agak aneh dan Bruno existential crisis karena menjadi tikus, sang anak dan Bruno menuju nenek sang anak untuk meminta pertolongan.
Ah iya, untuk nenek sang anak dalam bagian-bagian selanjutnya dia akan kupanggil sebagai "nenek" saja karena seperti sang anak, ia tidak diketahui namanya. Setelah hampir diinjak sepasang suami-istri di lift, sang anak dan Bruno berhasil sampai ke kamar nenek. Sesampainya di kamar nenek, nenek tidak terlalu terkejut, bukannya menanyakan "kenapa kamu bisa jadi tikus?" atau apa, nenek malah bertanya tentang penyihirnya. Sang anak mengatakan, "penyihirnya bukan cuma satu nek ada ratusan, mereka menyamar sebagai PPKTAA dan sekarang sedang minum teh dengan manager hotel". Lalu mereka mengobrol sebentar, tentang rupa ratu penyihir, penyihir-penyihir yang disana, satu penyihir yang diubah menjadi abu dsb. Lalu, ditengah pembicaraan itu, nenek mendapat ide "kamu yakin kan, mereka sedang dibawah minum teh?" "iya nek" lalu, nenek mengemukakan idenya kepada sang anak, mereka akan mencuri ramuan pembuat tikusnya and give the witches their own medicine.
Didalam pidatonya, raut penyihir mengatakan bahwa ia menyimpan beberapa sampel ramuan pembuat tikus di kamarnya, untuk percobaan dan untuk penyihir yang sudah tua dan mungkin tidak kuat mengumpulkan bahan-bahannya. Sang ratu penyihir mengatak, bila ada yang mau ramuannya bisa diambil di kamar 454, dan kamar sang anak adalah kamar... 554 tepat diatasnya. Jadi, rencananya sang anak akan turun ke kamar sang ratu penyahiri (bergelantung kepada benang rajut neneknya) mengambil ramuan, dan naik lagi. Mudah kan? Tidak terlalu, rencananya hampir gagal karena ratu penyihir kembali keatas, tapi mereka dapat ramuannya. Dan selama semua ini terjadi Bruno dengan damainya memakan pisang yang diberikan oleh nenek.
Mereka mendapat ramuannya, dan sekarang tinggal mencampurkannya ke makanan para penyihir easier said than done, para penyihir memesan sup istimewa untuk alasan tertentu, tinggal dicampurkan ke supnya saja kan? Tapi mencampurkannya itu, ohohoh itu akan sangat menarik. Tapi, sebelum itu ada Bruno, anak satunya yang diubah menjadi tikus. Mau diapakan dia? Diminta ikut membantu? Tapi nanti malah supnya dia makan. Setelah berpikir beberapa lama, sang anak dan memutuskan untuk menemui pak dan bu Jenkins dan mengatakan bahwa anak mereka jadi tikus, reaksi mereka kurang lebih seperti... "orang tua gila!" "anak kami tidak apa-apa kok" dan mereka pergi dengan marah. Sang anak dan nenek langsung melirik ke Bruno, "kenapa kamu tidak berbicara tadi?!" "maaf, mulutku penuh pisang" haduh, mau hujan mau angin mau jadi tikus Bruno makan terus.
Setelah, kegagalan berbicara dengan orangtua Bruno, sang anak dan nenek memulai rencana untuk mengubah semua penyihir menjadi tikus. Nenek menyembunyikan sang anak kedalam tasnya dan memasukannya ke dapur, sang anak berhasi masuk ke dapur dan memasukkan ramuan ke dalam sup tanpa ketahuan, sukses! Sekarang tinggal... Keluar, sang anak bergelayut menggunakan ekornya dari gantungan-ke gantungan menuju pintu keluar, semua terlihat sangat mulus, lalu... Prang! Peralatan masak berjatuhan, rupanya sang anak salah lihat, dan malah bergelayut ke sebuah panci. Tidak sampai sedetik kemudian terdengar teriakan koki. "Ada tikus!" "Bunuh! Bunuh!" Sang anak lari terbirit-birit menghindari injakan, lemparan panci, teflon, dan pisau, sayangnya satu lemparan pisau kena dan memotong ekornya. Tapi, syukurlah sang anak berhasil berlari dan bersembunyi didalam karung kentang, menyelinap keluar dan kembali ke pelukan nenek. Sekarang... Tinggal menunggu.
Sambil menunggu, sang anak dan nenek memutuskan untuk mengatakan kepad pak dan bu Jenkins bahwa anaknya menjadi tikus lagi. "Kamu tidak sedang mengunyah makanan kan Bruno?" "Tidak kok, lagian tadi kan cuman sekali". Kali ini mereka hanya bertemu pak Jenkins yang langsung mengatakan "mau bilang anakku tikus lagi?" dan ketika pak Jenkins mengatakan itu Bruno muncul "hai pa, aku jadi tikus". Pak Jenkins sontak terkejut, setelah tenang dan menerima bahwa anaknya menjadi tikus dia mengatakan "bu Jenkins bisa pingsan kalau dia tahu!" "siapa yang menyebabkan ini aku mau berbicara sedikit dengannya". Nenek menunjuk ke sang ratu penyihir "dia" pak Jenkins menjawab "tidak mungkin! Dia pemimpin PPKTAA!" Lalu sang anak mengatakan "PPKTAA itu organisasi penyihir, dan dia ratunya" tidak mengatakan apa- apa lagi, pak Jenkins berjalan menuju sang ratu penyihir, dan dia terlihat marah. Sang anak merinding, dia membayangkan pak Jengkins diubah menjadi abu seperti salah-satu penyihir. Tetapi... sebelum itu ada sesuatu yang terjadi. Apa yang terjadi? Beli bukunya dan cari tahu.
Diatas tadi itu kurang-lebih ceritanya, mungkin ada bagian yang terlompat sedikit mohon dimaklumilah. Menurutku, buku ini sangat bagus, dari perspektif karakte antagonisnya aktif dan unik kinda lacks personality tapi tetap bagus. Semua karakternya berasa real, dengan kepribadian tersendiri, bukan plot device doang (penyihirnya mungkin iya). Dan yang paling aku suka tuh konfliknya, ceritanya banyak bagian yang menegangkan. Tapi kita diberi semacam... Waktu berpikir dengan bagian-bagian yang relatif tenang, ketika sang anak dan Bruno (yang jadi tikus) di pangkuan nenek lalu kembali lagi ke action dengan adegan memasukan ramuan ke sup para penyihir.
All in all, kuberi buku ini rating 3.5/5 btw, buku ini gak terlalu seram kok dulu aku penakut aja wkwkwk.